Kaliurang
(Global FIAI News) Hal itu
merupakan salah bentuk usaha pembentukan opini negatif terhadap anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus (ABK ) seperti di i ungkapkan oleh Dr.Drs. H.
Muhammad Idrus, SPsi., M.Pd selaku pembicara saat seminar Prodi Pendidikan
Agama Islam (PAI) FIAI, sabtu, 21 Maret 2009 di hall FIAI.
Seminar yang diselenggarakan oleh Prodi PAI FIAI ini mengangkat
tema “Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus” juga menghadirkan Dr.
Drs. Ahmad Darmadji, M.Pd dan Akhmad
Soleh, MSI pemerhati pendidikan indonesia sebagai pembicara dan khusus
disampaikan dihadapan mahasiswa prodi PAI FIAI UII.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), menurut Idrus juga memiliki
hak-hak sebagaimana manusia normal lainnya, hal tersebut tertuang dalam
deklarasi hak asasi manusia penyandang cacat yang meliputi hak untuk mendidik
dirinya (the right to educated oneself), hak untuk pekerjaan
dan profesi (the right to occupation or profession), hak untuk
memelihara kesehatan dan fisik secara baik (the right to maintain health and physical
well being), hak untuk hidup mandiri (the right to
independent living) dan hak untuk kasih sayang (the
right to love). Hanya saja,
tidak semua ABK memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak-hak tersebut. “Perlu
dikembangkan sebuah relasi sehat antara mereka yang sehat secara fisik dan
kejiwaan dengan mereka yang berkelainan. Relasi tersebut hendaklah dibangun
dengan dasar kepercayaan dan kesejajaran, bukan berdasar pada rasa belas
kasihan karena kondisi tubuh ABK”.
Lebih lanjut Idrus menjelaskan
anak
dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam
proses pertumbuhannya dibandingkan dengan anak-anak lain sesusianya, sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus dalam proses pembelajarannya dan hendaklah di desain sesuai dengan
kekhasan yang dimiliki ABK. Contohnya Anak tunanetra yang mengalami beberapa
keterbatasan yang menjadikan mereka mengalami hambatan, yaitu (1) keterbatasan
dalam konsep dan pengalaman baru, (2) keterbatasan dalam berinteraksi dengan
lingkungan, (3) keterbatasan dalam mobilitas. Dengan sendirinya keterbatasan
tersebut menuntut satu desain pembelajaran yang juga khas. Terkait dengan
pengajaran bagi anak tunanetra, maka proses pembelajarannya harus mengacu
kepada: (1) kebutuhan akan pengalaman konkrit, (2) kebutuhan akan pengalaman
memadukan, (3) kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar.
Inilah model adaptif dalam pembelajaran, yaitu sebuah model
pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondisi peserta didik. Tentu saja
metodenya dapat bervariasi, hanya saja yang perlu diingat bahwa kekhasan yang
dimiliki ABK terkadang menjadi hambatan pada dirinya, pungkas Idrus. (A.
Nurozi)
0 komentar:
Post a Comment